Cosmos 954 Case

Cosmos 954 Case

Oleh :

Dw Gd Sudika Mangku, SH*


Kasus Cosmos – 954 merupakan kasus jatuhnya satelit bertetangga nuklir, Cosmos – 954 milik Uni Soviet, di Kanada. Cosmos – 954 merupakan salah satu satelit bertenaga nuklir milik Uni Soviet, yang diluncurkan pada tanggal 18 September 1957. Satelit ini dilengkapi reactor nuklir seberat 55 Kg dan menggunakan bahan uranium 235, dengan komposisi 90% Uranium 235. beberapa minggu setelah peluncuran, satelit yang direncanakan ditempatkan pada ketinggian 270 Km di atas permukaan bumi itu dinyatakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sebab-sebab kemerosotan fungsi itu tidak dapat diketahui dengan pasti. Beberapa pendapat ada yang menyatakan bahwa Cosmos – 954 telah berbenturan dengan serpihan sampah ruang angkasa (space debris).

Fasilitas lacak Uni Soviet yang kurang memadai mengakibatkan Soviet kehilangan kemampuan untuk memantau secara akurat gerak dan posisi Cosmos – 954. Pada tanggal 24 Januari 1978 dilaporkan bahwa Cosmos – 954 telah memasuki atmosfir bumi dan mengarah ke wilayah Kanada Barat Laut. Pada hari yang sama Cosmos – 954 telah jatuh di wilayah yang telah diperkirakan, dengan mengakibatkan radiasi radioaktif seluas 600 Km persegi. Meliputi wilayah Kanada Utara dan Barat Laut, bagian Utara Queen Chalotte Island, Alberta dan Skatchewan.

Pecahan Cosmos – 954 itu berbobot sekitar 65 Kg dan mengandung sekitar 3.500 partikel radio aktif. Tingkat radiasi partikel tersebut sangat bervariasi dari ribuan sampai jutaan dari satu roentgen/jam. Beberapa di antaranya memiliki sifat sangat mematikan. Satu pecahan berukuran tidak terlalu besar, 25 mm x 15 mm x 10 mm, memiliki tingkat radiasi sampai 500 rontgen/jam. Cukup untuk mebunuh manusia dalam beberapa jam sejak mengalami kontak pertama, data tersebut hanyalah data tentang dampak langsung (acut impacts) dari jatuhnya Cosmos – 954 dan Kanada belum memperhitungkan dampak tidak langsungnya (cronic impacts).

Persoalan lain yang juga sangat rumit adalah masalah penanganan radiasi. Pemerintah Kanada, dengan bantuan tenaga ahli dari Uni Soviet dan Amerika Serikat, membutuhkan waktu tidak kurang dari delapan bulan, dengan factor kesulitan yang sangat tinggi. Musim dingin yang telah berlangsung, dengan suhu udara -40 sampai -100 derajat Celcius, mengakibatkan pembekuan danau dan sebagaian besar lahan tertutupi salju, sehingga menimbulkan hambatan besar dalam membersihkan lahan dari radiasi.

Dewasa ini hukum internasional memiliki peranan besar dalam menyelesaikan sengketa internasional :
1. Pada prinsipnya hukum internasional berupaya agar hubungan antar-negara terjalin lewat ikatan persahabatan (friendly relations among states) dan tidak mengharapkan adanya persengketaan.
2. Hukum internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya.
3. Hukum internasional memberikan pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara, prosedur atau upaya yang seyogianya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya.
4. Hukum internasional modern semata-mata menganjurkan cara penyelesaian secara damai; apakah sengketa itu sifatnya antarnegara atau antarnegara dengan subyek hukum internasional lainnya. Hukum internasional tidak mengajurkan sama sekali cara keerasan atau peperangan.
Perkembangan hukum internasional dalam mengatur cara-cara penyelesaian sengketa secara damai ini secara formal pertama kali lahir sejak diselenggarakannya The Hague Peace Conference(Konferensi Perdamaian Den Haag) tahun 1899 dan 1907. Konferensi perdamaian ini menghasilkan the Convention on the Pasific Settlement of International Disputes tahun 1907.

Konferensi perdamaian Den Haag tahun 1899 dan 1907 memiliki dua arti penting, yaitu :
a. Konferensi memberikan sumbangan penting bagi hukum perang (sekarang hukum humaniter internasional);
b. Konferensi memberikan sumbangan penting bagi aturan-aturan penyelesaian sengketa secara damai antarnegara.

Manila Declaration atau Deklarasi Manila merupakan hasil inisiatif dan upaya Majelis Umum PBB dalam menggalakkan penghormatan terhadap penggunaan cara penyelesaian sengketa secara damai. Deklarasi Manila antara lain menyatakan :
a) Adalah kewajiban Negara-negara yang bersengketa untuk mencari jalan, dengan itikad baik dan semangat kerja sama, menyelesaikan sengketa internasional mereka secepat mungkin dan seadil-adilnya;
b) Negara-negara harus juga mempertimbangkan peran penting yang dapat dimainkan oleh Majelis Umum, Dewan Keamanan, Mahkamah Internasional dan Sekretariat Jenderal PBB dalam menyelesaikan suatu sengketa;
c) Deklarasi menyatakan pula adanya berbagai cara yang dapat dimainkan oleh organ-organ PBB untuk membatu para pihak mencapai suatu penyelesaian sengketa mereka.

Bedasarkan dua konvensi the Hague mengenai penyelesaian sengketa internasional ini, para negara (anggota) berupaya secara maksimal untuk menyelesaikan sengketa internasional secara damai. Untuk maksud itu, sepanjang keadaan masih mengizinkan atau memungkinkan, para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mereka kepada jasa-jasa baik, mediasi atau komisi penyelidik untuk menyelesaikan sengketa mereka (ini disebut sebagai cara diplomatik).

Apabila cara diplomatik ini gagal maka penyerahan sengketa kepada arbitrase baru diperkenankan. Berdasarkan Pasal 38 Konvensi Den Haag 1907, penyerahan sengketa kepada arbitrase sifatnya tidak memaksa karena penyerahan kepada badan ini baru akan dilakukan apabila keadaannya memungkinkan, di dalam konvensi tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan keadaan yang memungkinkan tersebut.
Dewasa ini hukum internasional telah menetapkan kewajiban minimum kepada semua Negara (anggota PBB) untuk menyelesaikan sengketa internasionalnya secara damai. Ketentuan ini tersurat khususnya dalam pasal 1, 2, dan 33 Piagam PBB. Kewajiban tersebut mensyaratkan bahwa Negara-negara harus menyelesaikan sengketanya dengan cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional dan keadilan tidak terancam.

Salah satu tujuan didirikannya PBB adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini tampak pada Pasal 1 ayat 1 Piagam PBB yang secara garis besarnya menyatakan fungsi dari badan dunia ini dan Negara-negara anggotanya, yaitu bersama-sama menciptakan dan mendorong penyelesaian sengketa internasional.
Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB memberikan pengaturan lebih lanjut guna melaksanakan dan mencapai tujuan diatas. Di dalam pasal ini mewajibkan semua Negara anggotanya untuk menempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara damai, kewajiban lainnya dituangkan dalam Pasal 2 ayat 4 yang menyatakan bahwa dalam hubungan internasional semua negara harus menahan diri dari penggunaan cara-cara kekerasan, yaitu ancaman dan penggunaan senjata terhadap negara lain atau cara-cara yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB.

Dalam Pasal 33 Piagam PBB dijelasakan kewajiban menyelesaikan sengketa secara damai, pasal ini menyatakan sebagai berikut :
Para pihak dalam suatu persengketaan yang tampaknya sengketa tersebut akan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, harus pertama-tama mencari penyelesaian dengan cara negosiasi (perundingan), penyidikan, mediasi, konsilisiasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkannya kepada organisasi-organisasi atau badan-badan regional atau cara-cara penyelesaian damai lainnya yang mereka pilih.
Berdasarkan Pasal 33 diatas, pada pokoknya cara penyelesaian sengketa secara damai dibagi dalam dua kelompok, yaitu sebagai berikut :
a. Penyelesaian sengketa secara diplomatik, yaitu negosiasi, penyelidikan, mediasi dan konsiliasi, disamping cara-cara lainnya yang masih dimungkinkan dipilih atau diinginkan oleh para pihak. Cara pertama, yaitu negosiasi adalah cara yang tidak melibatkan pihak ketiga, yaitu cara penyelesaian yang langsung melibatkan para pihak yang bersengketa. Cara-cara lainnya adalah penyelesaian yang melibatkan keikutsertaan pihak ketiga di dalamnya.
b. Cara penyelesaian secara hukum, yaitu arbitrase dan pengadilan.

Dari berbagai aturan hukum internasional di atas, termasuk dan terutama Deklarasi Manila, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa internasional.
1. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
Prinsip ini bisa dikatakan sebagai prinsip yang fundamental dan paling sentral dalam menyelsaikan sengketa antarnegara. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercermin dalam dua tahap. Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat memengaruhi hubungan baik antar Negara. Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum internasional, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara lain yang dipilih para pihak.
2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan Dalam Penyelesaian Sengketa
Prinsip ini juga sangat sentral dan penting. Prinsip inilah yang melarang para pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasan). Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 13 Bali Concord dan preambule ke-4 Deklarasi Manila.
3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip ini termuat dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB Section 1 paragraph 3 dan 10 Deklarasi Manila dan paragraph ke-5 dari Friendly Relations Declaration. Instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian sengketa atau cara-cara penyelesaian sengketa harus didasarkan keinginan bebas para pihak. Kebebasan ini berlaku baik untuk sengketayang telah terjadi atau sengketa yang akan dating.
4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok Sengketa
Prinsip fundamental selanjutnya yang sangat penting adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dak kelayakan (ex aequo et bono).
5. Prinsip Kesepakan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus)
Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip ke-3 dan ke-4 diatas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya akan bisa dilakukan ataudirealisasikan manakala ada kesepakatan dari para pihak. Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak akan mungkin berjalan apabila kesepakatan hanya ada dari salah satu pihak atau bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.
6. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan, dan Integritas Wilayah Negara-Negara
Deklarasi Manila mencantumkan prinsip ini dalam section 1 paragraph 1. Prinsip ini mensyaratkan Negara-negara yang bersengketa untuk terus menaati dan melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam berhubungan satu sama lainnya berdasarkan prinsip-prinsip fundamental integritas wilayah Negara-negara. Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lainnya yang menurut hemat penulis hanya bersifat tambahan. Prinsip tersebut yaitu :
a. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;
b. Prinsip persamaan hakdan penentuan nasib sendiri;
c. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
d. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.

Kasus Cosmos – 954 oleh kedua belah pihak Uni Soviet dan Kanada telah diselesaikan melalui jalur non-litigasi. Dalam kasus tersebut pihak Kanada telah melakukan dua kali operasi untuk mengatasi pencemaran radioaktif itu, pertama dari tanggal 24 Januari – 20 April 1978 dan yang kedua dari tanggal 21 April sampai 15 Oktober 1978. Untuk membiayai keseluruhan fase itu Kanada telah menghabiskan biaya sebesar $ 12,048,239.11 Kanada untuk fase pertama dan $ 1,921,904.55 Kanada untuk fase kedua. Total klaim yang diajukan pemerintah Kanada terhadap pemerintah Uni Soviet adalah $ 6,041,174.70 dengan perincian $ 4,414,348.86 berasal dari fase pertama dan $ 1,626,825.84 dari fase kedua.

Kanada dan Uni Soviet telah memilih cara negosiasi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal IX Konvensi Liability Convention 1972, sebagai cara penyelesaian sengketa dan merujuk pada Pasal 33 Piagam PBB adanya kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai melalui tahapan yang paling awal yaitu negosiasi. Melalui ketentuan Konvensi Liability Convention 1972 klaim dapat diajukan melalui diplomatic channel. Selanjutnya ditentukan bahwa, dalam hal Negara-negara yang bersengketa yang tidak memiliki hubungan diplomatik, maka klaim demikian dapat diajukan melalui Sekjen PBB, sejauh kedua pihak bersengketa adalah anggota PBB.

Negosiasi atau perundingan merupakan langkah awal yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu sengketa antarnegara. Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Dialog tersebut, biasanya lebih banyak pertimbangan politis daripada pertimbangan atau argument hukum. Namun demikian, dalam proses negosiasi atau dialog tersebut, adakalanya argument-argumen hukum cukup banyak berfungsi memperkuat kedudukan para pihak. Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan langsung oleh para pihak yang berperkara dengan cara melalui saluran diplomatik biasa.

Segi positif dari negosiasi ini adalah sebagai berikut :
1. Para pihak sendiri yang melakukan perundingan (negosiasi) secara langsung dengan pihak lain.
2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana penyelesaian secara negosiasi ini dilakukan menurut kesepakatan mereka.
3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaian.
4. Dalam negosiasi, para pihak berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang menang dan kalah tetapi diupayakan kedua belah pihak menang.

Kelemahan utama penggunaan cara negosiasi dalam menyelesaikan sengketa adalah sebagai berikut :
1. Manakala kedudukan para pihak tidak seimbang, salah satu kuat, sedang pihak yang lain lemah. Dalam keadaan ini pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acap kali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaiakan sengketa di antara mereka.
2. Bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan memakan waktu yang lama. Selain itu, jarang sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi.
3. Manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi menjadi tidak produktif.

Kasus Cosmos – 954 menunjukkan bahwa : Pertama, suatu kegiatan yang berada di bawah pengawasan Negara tertentu (activies under state control) yang dilakukanan di kawasan yang berada di luar batas-batas wilayah Negara tetap merupakan kegiatan yang potensial dampak bagi lingkungan hidup Negara tertentu, Kedua, dampak demikian dapat diselesaikan berdasarkan prinsip hukum internasional (liability), melalui mekanisme hukum internasional, Ketiga, dampak demikian tidak melulu diselesaikan melalui pembayaran ganti rugi, melainkan juga dengan bantuan teknis.

Penerapan system ganti rugi demikian masih menunjukkan bahwa lingkungan hidup sebagai objek hukum masih tetap dipersamakan dengan sifat objek hukum lain., seperti benda dan objek-objek kepentingan lainnya. Klaim Kanada menunjukkan bahwa Kanada sama sekali tidak memperhitungkan kerugian lingkungan yang diakibatkan oleh dampaknya. Jumlah yang diajukan oleh Kanada terbatas pada biaya operasional yang dikeluarkan Kanada selama Kanada membersihkan lahan dari radiasi. Penerapan system demikian juga menunjukkan bahwa penerapan prinsip ganti rugi tidak cukup memadai untuk memenuhi tujuan-tujuan perlindungan lingkungan, karena umumnya hanya mampu memperhitungkan kerugian-kerugian yang bersifat countable dan sulit menjangkau kerugian yang bersifat uncountable seperti merosotnya daya dukung lingkungan, fungsi lingkungan dan kualitas lingkungan pada umumnya.

Kelemahan ini pula yang membuat prinsip ganti rugi dalam kaitan dengan kerugian lingkungan tidak pernah diterapkan secara mandiri, melaikan selalu diimbangi dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti kewajiban memberikan bantuan teknis, kewajiban untuk ikut serta dalam mengatasi dampak dan kewajiban untuk mencegah dan menghentikan dampak selanjutnya. Hanya saja, dalam praktek penerapan prinsip demikian tetap belum dapat memenuhi upaya-upaya pemulihan lingkungan ke keadaan semula. Sifat khusus ini segera menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan lain terhadap bentuk-bentuk baru penerapan prinsip-prinsip hukum internasional untuk menjamin agar hukum dapat berperan lebih optimal sebagai instrument utama perlindungan lingkungan, seperti pertama, kesadaran terhadap sifat khusus lingkungan hidup sebagai objek hukum. Kedua, implementasi prinsip-prinsip dan ketentuan hukum internasional yang dapat memberikan treatment yang wajar terhadap lingkungan hidup dalam sifat dan kedudukan demikian itu.

Sekalipun sangat berorientasi kepada perlindungan kepentingan Negara, namun hukum internasional sejak permulaan telah menggunakan dua pendekatan untuk menangani kasus-kasus lingkungan, yaitu pendekatan hukum dan teknis. Pendekatan hukum berkenaan dengan penerapan prinsip-prinsip pertanggung jawaban Negara, termasuk ke dalamnya penerapan azas pencegahan dan azas ganti rugi, dan pendekatan teknis berkenaan dengan kewajiban mencegah emisi, mengurangi emisi, dan menghapuskan emisi.

*Penulis adalah Pengelola cIILs Jogjakarta dan Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta

Leave a comment